Peningkatan populasi dunia, taraf hidup dan industrialisasi mempunyai dampak langsung terhadap total energi yang dikonsumsi manusia. Kalau dulu misalnya, di sekitar abad ke 17 saat populasi bumi hanya sekitar 500 juta, bisa jadi sektor agrikultur sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan energi manusia. Namun, penemuan steam engine (abad 18), electromagnetic induction (1831) dan teknologi listrik oleh Edison telah merubah pola konsumsi manusia secara drastis. Konsumsi energi yang sebelumnya tidak lebih dari 2000 kalori / hari (yang didapat dari energi matahari melalui media tumbuhan dan hewan buruan) meningkat tajam menjadi 1000 kg ekuivalen batubara per orang per tahun pada 1950 (Gupta, Roy 2007). 1 kg batubara dapat mengandung sampai 7000 kcal (kilo calories). Kemudian, dalam kurun waktu lebih kurang 50 tahun, pada tahun 2003 saat populasi bumi sudah mencapai 6,3 milliar, konsumsi energi per kapita meningkat 2,5 kali lipat (2.400 kg ekuivalen batubara per tahun).
Trend kenaikan konsumsi energi ini tampaknya tidak akan berubah dalam waktu dekat. Sayangnya, ketersediaan energi fosil (yang kita lebih banyak bergantung saat ini) ada batasnya. Dengan berbagai asumsi, pendekatan dan penelitian, banyak ahli yang memprediksikan bahwa kita masuk pada akhir masa-masanya jenis energi konvensional ini. Pun demikian, di sisi lain, para pelaku industri dibidang ini meyakini bahwa pengembangan teknologi yang lebih baik mampu memperpanjang ‘umur’ energi konvensional ini. Yang terakhir disebutkan, seringkali, mengambil contoh bagaimana sang teknologi mampu mengekplorasi dan menemukan sumber-sumber energi konvensional (baca: minyak & gas) yang belum pernah dibicarakan sebelumnya (laut dalam, heavy oil, shale gas, dll). Pun demikian, kenyataan yang pasti: jenis energi ini akan semakin ditinggalkan dan akan berakhir masanya. Kapan terjadi? tidak ada yang ada tahu pasti. Tapi tidak lama lagi. Dan hanya ada 2 cara masuk akal untuk mengatasi krisis energi yang mungkin terjadi ini: penghematan energi (energi efisiensi) atau penyediaan sumber energi ter(baru)kan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesiapun tidak luput dari masa transisi kebanyakan negara di dunia yang pada awalnya mengandalkan energi konvensional yang saat ini sedang menjalani masa transisi untuk memberikan ‘perhatian’ lebih pada pengembangan energi terbarukan. Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil minyak, dulu sempat menikmati masa-masa indah surplus energi di sekitaran tahun 60-70an. Emas hitam jadi instrumen paling penting sumber penerimaan negara saat itu. Namun, saat ini, kondisinya sudah jauh berbeda. Alih alih surplus energi dan menambah pundi devisa dari harga minyak yang melangit, Indonesia justru mesti berjibaku memikirkan subsidi energi yang mesti diberikan kepada rakyatnya yang menuntut harga energi yang murah meriah. Celakanya, kebanyak rakyat (mampu) ini menutup mata bahwa kita tidak lagi berada pada situasi yang sama dengan 40 tahun lalu. Nampaknya memang sulit untuk mengotak atik ‘kenyamanan’ rakyat yang sudah lama dinikmati. Pembahasan masalah subsidi ini akan dipaparkan pada tulisannya lainnya.
Kembali ke kondisi Indonesia saat ini terkait dengan konsumsi dan kapasitas produksi minyak kita. Grafik berikut memberikan gambaran jelas bagaimana pergerakan produksi vs konsumsi Indonesia sampai saat ini (Thanks to BP Statistical Review).
Trend kenaikan konsumsi energi ini tampaknya tidak akan berubah dalam waktu dekat. Sayangnya, ketersediaan energi fosil (yang kita lebih banyak bergantung saat ini) ada batasnya. Dengan berbagai asumsi, pendekatan dan penelitian, banyak ahli yang memprediksikan bahwa kita masuk pada akhir masa-masanya jenis energi konvensional ini. Pun demikian, di sisi lain, para pelaku industri dibidang ini meyakini bahwa pengembangan teknologi yang lebih baik mampu memperpanjang ‘umur’ energi konvensional ini. Yang terakhir disebutkan, seringkali, mengambil contoh bagaimana sang teknologi mampu mengekplorasi dan menemukan sumber-sumber energi konvensional (baca: minyak & gas) yang belum pernah dibicarakan sebelumnya (laut dalam, heavy oil, shale gas, dll). Pun demikian, kenyataan yang pasti: jenis energi ini akan semakin ditinggalkan dan akan berakhir masanya. Kapan terjadi? tidak ada yang ada tahu pasti. Tapi tidak lama lagi. Dan hanya ada 2 cara masuk akal untuk mengatasi krisis energi yang mungkin terjadi ini: penghematan energi (energi efisiensi) atau penyediaan sumber energi ter(baru)kan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesiapun tidak luput dari masa transisi kebanyakan negara di dunia yang pada awalnya mengandalkan energi konvensional yang saat ini sedang menjalani masa transisi untuk memberikan ‘perhatian’ lebih pada pengembangan energi terbarukan. Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil minyak, dulu sempat menikmati masa-masa indah surplus energi di sekitaran tahun 60-70an. Emas hitam jadi instrumen paling penting sumber penerimaan negara saat itu. Namun, saat ini, kondisinya sudah jauh berbeda. Alih alih surplus energi dan menambah pundi devisa dari harga minyak yang melangit, Indonesia justru mesti berjibaku memikirkan subsidi energi yang mesti diberikan kepada rakyatnya yang menuntut harga energi yang murah meriah. Celakanya, kebanyak rakyat (mampu) ini menutup mata bahwa kita tidak lagi berada pada situasi yang sama dengan 40 tahun lalu. Nampaknya memang sulit untuk mengotak atik ‘kenyamanan’ rakyat yang sudah lama dinikmati. Pembahasan masalah subsidi ini akan dipaparkan pada tulisannya lainnya.
Kembali ke kondisi Indonesia saat ini terkait dengan konsumsi dan kapasitas produksi minyak kita. Grafik berikut memberikan gambaran jelas bagaimana pergerakan produksi vs konsumsi Indonesia sampai saat ini (Thanks to BP Statistical Review).
Indonesia oil production vs consumption |
Melihat grafik di atas, rasanya bukan hal yang aneh kalau akhirnya Indonesia pada tahun 2008 mengundurkan diri dari organisasi negara pengekspor minyak, OPEC. Selain karena alasan produksi yang semakin menurun, langkah tersebut diambil juga untuk melakukan penghematan 2 Juta USD per tahun yang mesti dibayarkan Indonesia selama menjadi anggota organisasi tersebut. Tahun fiskal 2012, tren penurunan produksi minyak Indonesia belum berakhir. Dari target belanja negara yang mensyaratkan lifting 930 ribu barel/hari, diprediksi tidak sampai 880 ribu barel/hari yang dapat direalisasikan. Lagi-lagi konsekuensinya adalah beban anggaran yang semakin besar untuk mengkompensasi selisih biaya produksi minyak dan harga jual ke masyarakat.
Kemudian, jika kita melihat sumber energi konvensional lainnya yang tersedia di Indonesia saat ini, tampaknya tidak salah program pemerintah yang sementara ini memfokuskan pengembangan infrastruktur gas alam sebagai salah satu sumber energi utama. Selain karena gas alam ini jauh lebih bersih dibandingkan dua ‘saudara-nya’, cadangannya di Indonesia boleh dibilang melimpah. Dengan teknologi dan study yang sudah dilakukan sampai sekarang, cadangan gas alam kita cukup untuk konsumsi nasional sampai 60 tahun mendatang (tentu hitungan ini terlalu sederhana karena tidak mengindahkan faktor perubahan produksi, populasi, permintaan energi, dlsb yang akan sangat kompleks untuk dimodelkan). Yang terakhir, batu bara, meskipun beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan permintaan karena harganya yang murah, namun bisa dipastikan kesuksesan para pengusaha yang besar dari batu bara saat ini tidak akan bertahan sampai ke generasi kedua setelahnya jika tidak ada diversifikasi bisnis dibidang yang lain. Maklum, teknologi batubara yang ‘kotor’ dan langka akan semakin ditinggalkan oleh negara-negara maju dikemudian hari.
Tabel berikut menggambarkan situasi produksi, cadangan, dan perkiraan lama waktu cadangan tersebut akan habis (sumber: esdm.go.id).
Table energy resources Indonesia conventional |
Rencana Jangka Panjang
Pemerintah Indonesia, dengan fakta-fakta yang telah gambarkan sebelumnya , telah jauh hari merencakan perubahan komposisi penyediaan energi nasional. Jika pada tahun 2005, 97% supply energi nasional berasal dari energi konvensional (minyak, gas, batubara), maka pada tahun 2025 bagian ini direncanakan tidak lebih dari 83 %. Hal ini dapat dicapai dengan rencana pengembangan berbagai energi terbarukan (air, panas bumi, biofuel, angin, surya, dll).
Pemerintah Indonesia, dengan fakta-fakta yang telah gambarkan sebelumnya , telah jauh hari merencakan perubahan komposisi penyediaan energi nasional. Jika pada tahun 2005, 97% supply energi nasional berasal dari energi konvensional (minyak, gas, batubara), maka pada tahun 2025 bagian ini direncanakan tidak lebih dari 83 %. Hal ini dapat dicapai dengan rencana pengembangan berbagai energi terbarukan (air, panas bumi, biofuel, angin, surya, dll).
Energy Mix Indonesia 2025 Sumber : esdm.go.id |
Jika grand design energi nasional ini berjalan seperti yang direncanakan, maka Indonesia berada dijalur yang benar untuk mengantisipasi kelangkaan energi konvensional di masa yang akan datang. Geothermal, sebagai salah satu the rising star dalam pengembangan energi nasional nampaknya bisa jadi salah satu sektor yang akan berkembang paling pesat dalam beberapa tahun mendatang. Banyak instrumen fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk menstimulus pengembangan energi ini; feed in tarrif, pengurangan pajak , kemudahan izin, dll.
Renew Energy resources Indonesia Sumber : esdm.go.id |
Indonesia merupakan negara dengan sumber geothermal terbesar dunia: 40 % cadangan dunia tersebar disepanjang ring of fire pegunungan di Indonsesia dan daerah lainnya. Cadangan yang kita miliki ditaksir mampu untuk menghasilkan 27 GigaWatt listrik. Untuk anda yang tidak terbiasa dengan unit listrik, besarnya energi tersebut jika digunakan untuk pemakaian rumah tangga dengan daya rata-rata 1300 Watt, maka dapat digunakan untuk lebih dari 20 juta rumah tangga. Dengan mengasumsikan bahwa setiap rumah tangga berisi 4 orang, maka akan ada lebih dari 80 juta warga negara Indonesia yang dapat dipenuhi kebutuhan listriknya dengan geothermal (panas bumi). Fakta ini, ditambah rasio elektrifikasi nasional yang masih rendah (tidak lebih dari 70%) rasanya bisa menjadi alasan logis untuk menebak bahwa industri ini akan menjadi salah satu sektor yang paling berkembang dimasa depan.
Sumber : rkunaefi.com